Hidup Adalah Tanggung Jawab, Pengabdian, dan Ibadah

KERAGUAN YANG MEYAKINKAN


KERAGUAN YANG MEYAKINKAN
Oleh : Aku yang berfikir.

Bismillahirrahmanirrahim.
Allahumma shalli ala muhammad wa ‘ali muhammad.

    Berfikir adalah hal yang identik dengan manusia. Karena manusia adalah keberfikirannya. Dalam berfikir tentu ada sesuatu yang terkadang tidak kita sadari. Dan itu merupakan bagian dari keberfikiran. Berfikir yang filosofis memang selalu berkaitan dengan hal ini, yakni keraguan. Keraguan bagi sebagian orang bahkan mungkin sebagian golongan dianggap hal yang tabu, bahkan mungkin dikatakan merusak keyakinan. Tentu ada benarnya hal itu. Tetapi dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa keraguan aalah hal yang positif, baik itu dalam rangka memperkuat keyakinan atau tidak mudah menerima informasi yang kita terima.
Kritis, adalah salah satu cara kita meragukan informasi yang kita terima baik itu berupa pengetahuan atau pun wacana filosofis. Ada orang yang hanya menerima begitu saja informasi yang diterimanya ada juga mereka yang meragukan terlebih dahulu informasi yang diterimanya. Bahkan lebih ekstrim meragukan semua hal yang ia ketahui. Dan ada pula yang meragukan segala hal yang ia ketahui kecuali keyakinan tehadap dirinya sendiri. Keyakinan bahwa dirinya sedang ragu.
Descartes adalah tokoh yang mewakili golongan yang terakhir, yaitu meragukan segala hal yang ia terima kecuali keyakinan akan dirinya yang sedang ragu. Ia mengatakan “aku ragu terhadap semua ini, tetapi aku tidak ragu kalau aku sedang ragu”. Tentu ini bukan pernyataan yang sepele, dan diucapkan begitu saja. Karena kalau kita mau melihat terhadap argumen yang membangun pernyataan tersebut, ada berbagai argumen yang diajukan oleh Deskartes, dan tentu ini melalui berbagai refleksi yang filosofis. Walaupun tentu kita ketahui ada unsur prototype nya juga pada pemikiran Descartes ini, tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan baik itu secara historis maupun sosiologis. Karena kita tahu Descarte adalah salah satu orang yang sempat mengalami cengkeraman dominasi gereja terhadap filsafat yang terbungkam selama kurang lebih seribu tahun.

   Baik kita masuki pemikiran Descarte yang mengatakan bahwa “aku ragu terhadap segala hal, tetapi aku tidak ragu kalau aku sedang ragu”. Descartes memulai filsafatnya dengan keraguan yang meyakinkan dan begitu menggemparkan. Ia berargumen bahwa karena ide-ide itu dialektis, makan ide-ide tersebut mudah terpeleset kepada kesalahan. Selain itu menurutnya karena persepsi indrawi juga sering menipu, maka indra tersebut juga harus diabaikan. Descartes menangguhkan betapa pentingnya keraguan mutlak tersebut. Ia mengumpamakan cara berpikir benarnya tersebut dengan kenyataan bahwa mungkin saja bagi manusia untuk bersuka cita atas kekuatan yang memegang keberadaan dan pikirannya serta mencoba menipu dan menyesatkan pikirannya. Kekuatan itu mengilhaminya dengan ide-ide yang tidak berkaitan dengan kenyataan dan berkaitan dengan anggapan salah. Selain menghantam dan mendobrak kebenaran, Descartes juga tidak memberikan kebenaran yang kokoh dan tak tergoyahkan,selain kebenaran akan keraguan dirinya tersebut. justru ia dengan batu pijakan dalam membangun filsafatnya. Denga batu pijakan filsafatnya tersebut ia mencoba untuk bergerak dari konsepsi menuju eksistensi, dan dari subyektivitas menuju obyektifitas. Sebenarnya dengan menggunakan kebenaran tersebut ia ingin mencoba membuktikan subjek dan objek. Maka dari itu ia mengawali semua itu dari dirinya sendiri. Ia menyatakan eksistensi dirinya dengan kebenaran ini, dengan mengatakan “saya berfikir, maka saya ada. Secara teknis, silogisme ini mengambil bentuk sebagai berikut, “saya berfikir, setiap pemikir itu eksis, maka saya yang berfikir pun juga eksis, jadi keeksisan saya adalah keberfikiran saya. Supaya penalarannya ini valid, Descartes harus menerima logika dan percaya bahwa figur pertama dari silogisme menghasilkan suatu kesimpulan, dan kesimpulan ini benar, sekalipun ia masih pada langkah awal dan keraguan dalam pikirannya masih dalam kontrol semua pengetahuan dan kebenaran, termasuk logika dan aturannya.

    Sekilas pernyataan Descartes tersebut benar, padahal kalau kita mau mengamatinya usaha yang seakan ingin memisahkan subjek dan objek yang beffikir, di situ terdapat keterplesetan. Pertama kalau kita mau melihat proposisi yang digunakan Descartes selara logika bahwa “ saya berfikir “ saya, sebagai subjek dan berfikir adalah predikasi. Maka keberadaan saya sebenarnya sudah ada ada sebagai subjek yang berfikikir. Karena keberfikirann sebagai predikasi terhadap subjek tidak mungkin terjadi tanpa keberadaan subjek itu sendiri maka. “maka saya ada” sebenarnya dalam konteks proposisi dalam pernyataan sebelumnya yakni “saya berfikir” kurang bisa diterima dalam konteks subjek dan predikasi yang menyertainya, karena baik itu predikasi maupun subjek sama- sama membutuhkan. “ saya” dalam proposisi tersebut adalah eksistensi, sedangkan berfikir adalah predikasi

Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "KERAGUAN YANG MEYAKINKAN"

Back To Top