PERSOALAN DAN HAMBATAN
DALAM HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Makalah Tugas Kelompok Mata Kuliah Hubungan Antar Agama
Dosen Pengampu : Dr. Ustadi Hamsah, S.Ag., M.Ag.
Disusun oleh
:
Rian Permadi 13520035
Pardianto
Sinaga 13520031
Musannif 12520031
Arafat Nor
Abdillah 13520019
Naufal 14520022
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur atas
kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
kelompok kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Persoalan dan Hambatan dalam Hubungan antar
Agama – Agama “
Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini berkat tuntunan
Tuhan yang maha Esa , kami berterima kasih kepada Dosen pengampu kami, karna
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisan. Namun demikian kami telah berusaha dengan segala kemampuan kami
melakukan yang terbaik.
Kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca makalah ini.
Yogyakarta , 3 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………………………………………………………………
Daftar Isi
…………………………………………………………………….
BAB
I PENDAHULUAN
…………………………………………............
A. Latar Belakang Masalah
..............…………………………….
B. Rumusan Masalah ……………………………………………
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………….....
A. Hakikat agama ……………………….……………………..
B. Hubungan Antar Agama …………………………………….
C. Persoalan dan hambatan dalam hubungan
antar agama .…….
BAB III PENUTUP ………………………………………………………..
A. Kesimpulan ………………………………………………….
B. Saran ………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama
merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki
unsur ke-Tuhan-an yang menjadi garis relasional antara ciptaan dan Sang
Pencipta. Sehingga, antara Tuhan dan manusia terdapat suatu ikatan yang bisa
dikatakan tidak dapat dilepaskan, walaupun ada sebagian orang yang menyatakan
dirinya tidak memiliki Tuhan. Namun, pada hakikatnya mereka tetap memiliki
unsur ke-Tuhan-an yang bersemayam dalam tubuh manusia.
Dalam ber-Tuhan
pun manusia masing-masing memiliki jalan untuk menjalin hubungan dengan Tuhan.
Dengan kata lain, bahwa manusia sejatinya akan memiliki interpretasi terhadap
Tuhan mereka, baik itu terkait sifat-sifat-Nya, ciptaan-Nya, maupun wujud-Nya
yang akan melahirkan suatu diversitas pandangan atau pemahaman terhadap
eksistensi Tuhan yang beranekaragam.
Agama
bersifat dinamis, maksudnya adalah sebuah kenyataan konsep keagamaan yang
bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual, dan
manusiawi, dan ditinjau dari segi pengalaman religius yang mendalam, datang
dari kedalaman hati manusia. Pernyataan tersebut merupakan analisis agama yang
memang dipengaruhi oleh perkembangan manusia, dikarenakan oleh budaya,
lingkungan, dan pola pikir manusia. Oleh karena itu, munculnya keanekaragaman
agama tidak dapat dihindari dan akan selalu terjadi reflektivitas modern dari
keberagamaan manusia seiring berkembangnya peradaban manusia.
Keanekaragaman
agama yang muncul seiring perkembangan peradaban manusia selalu ditemukan di
dalamnya, yakni suatu hubungan antar umat beragama. Hubungan yang di awali
dengan perjumpaan budaya dan agama yang berbeda-beda. Perihal tersebut pastinya
terdapat sebuah permasalahan dan hambatan, kemudian terjadi pertukaran, adopsi,
dan akulturasi budaya. Jika dengan pernyataan Clifford Geertz, bahwa agama
sebagai sistem kebudayaan berarti sama halnya bahwa di setiap pertukaran budaya
terjadi juga perjumpaan agama, seperti halnya jika ditinjau secara historis
tentang perjumpaan agama-agama. Karena, agama ada keterkaitannya dengan budaya.
Kerjasama antar keyakinan dimungkinkan melalui dialog antar agama sebagai salah
satu bentuk perjumpaan agama guna menjalin hubungan antar agama. Secara idealnya setiap dialog harus didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai bersama. Satu pihak tidak dapat dijadikan acuan untuk pihak yang lain. Setiap agama memiliki esensi atau substansi yang terlepas dari aksiden sejarah. Sebuah gerakan pembaharuan
pada dasarnya adalah sebuah gerakan kembali kepada esensi tersebut setelah ia dikacaukan dengan aksiden sejarahnya, termasuk hasrat manusia dan kepentingan sosial.
Makalah ini disajikan
untuk membahas persoalan dan hambatan yang terjadi dalam hubungan umat
beragama. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dimungkinkan melalui dialog
antar agama kerjasama antar keyakinan dapat terwujud. Namun, hal tersebut tidak
pernah lepas dari sebuah gerakan masing-masing agama yang dapat dilihat dari
kacamata sejarah perkembangan agama-agama di dunia, dikarenakan faktor hasrat
manusia dan kepentingan sosial (umat agamanya).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas. Oleh karena itu, kami
berusaha untuk merumuskan permasalahan tentang persoalan-persoalan serta
hambatan yang terjadi dalam hubungan antar agama, di antaranya:
1) Apa Hakikat agama ?
2) Bagaimana Hubungan Antar Agama ?
3) Apa Persoalan dan hambatan dalam
hubungan antar agama ?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan Melihat
Rumusan Masalah yang ada , adapun tujuan penelitian ini sebagai yaitu berikut :
1)
Mengetahui
Hakikat agama.
2)
Mengetahui
Hubungan Antar Agama.
3)
Mengetahui
Persoalan dan hambatan dalam hubungan antar agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Agama
Setiap agama memiliki dua
kecenderungan. Yang pertama, bersifat tradisional, dogmatis, ritualistik,
institusional, dan legal. Beberapa sifat tersebut merupakan hasil sejarah dan
juga hasil interaksi sosial. Sifat yang pertama inilah dapat dilihat dari
kacamata historisitas, para pakar sosiolog, antropolog, dan sejarawan memandang
agama sebagai fenomena sosial. Dengan bahasa lainnya, menurut Frithjof Schoun
dengan teori ‘Esoteris-Eksoteris’-nya mengatakan bahwa kecenderungan agama
dilihat dari fenomena sosialnya merupakan ruang lingkup eksoteris dalam
ekspresi keberagamaan manusia.
Sedangkan
kecenderungan yang kedua lebih bersifat intern, atau dapat dikatakan sifat yang
didasarkan dari pengalaman religius yang mendalam dari hati, atau dapat disebut
dengan ruang lingkup esoterisnya. Schoun menarik garis pemisah antara yang
‘esoteris’ dan ‘eksoteris’. Yang diingiunkannya bukanlah menciptakan sebuah
pembeda dalam wilayah agama serta perbedaan dasar juga bukanlah antara agama
yang satu dengan agama yang lainnya.
Menurutnya
hakikat agama adalah proses memahami antara ‘hakikat’ dan ‘perwujudan’. Agama
yang terlihat merupakan perwujudan dari ekspresi keyakinan umat beragama.
Sangatlah fenomenal sekali menurut kami ketika melihat agama hanya berupa
perwujudan, namun dengan menggunakan beberapa teori yang terdapat kemiripan,
seperti Trancendent Unity Of Religion (Frithjof
Schoun), Relatively Absolute (Sayyed
Hosein Nasr), dan perspektif Filsafat Perennial (dalam buku “Agama Masa Depan”)
pemikiran Qomaruddin Hidayat. Bukan berarti bahwa beberapa teroi yang telah
disebutkan untuk menganalisa persoalan dan hambatan yang terjadi di dalam
hubungan antara agama. Tetapi, di dalam makalah ini kami berusaha mengulas
kemiripan dengan bahasa ‘Agama adalah fitrah’ dari pemikiran Ismail al-Faruqi.
B.
Hubungan antar agama
Berbicara
tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan
utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai
secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim, baik secara sosiologis,
teologis maupun etis.
Secara
sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah
berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan
sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan
sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya
pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling
sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap
kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi
berganti.[1] Ia
mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu
dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat
pisah darinya.[2] Berdasarkan
keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam
soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai
seorang Muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun,
Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex
yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah
realitas, karena itu mau tidak mau kita harus mengakui adanya religious
pluralism dalam masyarakat.
Pengakuan
pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali
secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakuan
sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak
bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek)
yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus
dan Mariam.
Islam adalah
Agama yang sejak awal mengakui keberagaman. Konsep ”tidak ada paksaan dalam
Agama” dan konsep ”Bagimu Agamamu dan
bagiku Agamaku” sudah secara tegas disebutkan dalam Al Qur’an. Oleh karena itu
umat Islam dilarang keras memaksa non-muslim untuk memeluk Islam, meskipun umat
Islam diperintahkan mendakwahkan Islam. Bahkan, kaum Muslim diwajibkan
menghormati pemeluk Agama lain. Seorang anak yang masuk Islam diwajibkan tetap
menghormati dan berbuat baik terhadap orangtuanya yang belum memeluk Islam.
Sejarah Islam membuktikan bagaimana tingginya sikap toleran kaum Muslim kepada
pemeluk Agama lain.
Tetapi dalam konsepsi Islam, adalah
mustahil mengakui bahwa semua paham (isme) atau Agama adalah benar dan
merupakan sama-sama jalan yang menuju kepada Tuhan. Maka ada perbedaan mendasar
antara menerima dan mengakui keberagaman Agama dengan mengakui kebenaran semua
Agama. Yang pertama bisa dikatakan sebagai mengakui pluralitas Agama, sedangkan
yang kedua mengakui pluralisme Agama. Islam menerima dan mengakui perbedaan dan
keberagaman tapi jelas tidak mengakui bahwa semua Agama adalah sah dan
sama-sama jalan menuju Tuhan yang satu.[3]
Oleh sebab itu hubungan antar Agama
di sini hanya pada tataran kehidupan sosial dan tidak sampai pada
masalah-masalah teologis. Sehingga dalam pembahasan ini hubungan antar Agama
juga sebagai komunikasi antar budaya, karena terdapat perbedaan antara Agama
yang satu dengan Agama lain. Sebagaimana diungkapkan oleh De Vito (1997)
bentuk-bentuk komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi antara kelompok agama
yang berbeda. Misalnya: antara orang Islam dengan orang Yahudi. Jadi Ketika
komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, agama, kelompok ras, atau
kelompok bahasa, komunikasi itu disebut komunikasi antar budaya.
C.
Persoalan dan hambatan dalam hubungan
antar agama
Meskipun terdapat prinsip-prinsip dalam membangun
dialog, bukan
berarti kemudian tidak menyisakan hambatan dan
kesulitan. Terdapat beberapa hambatan yang
menghadang berkaitan dengan upaya mem- bangun dialog keagamaan. Amin Abdullah menjelaskan bahwa hambatan mendasar dalam membangun dialog
keagamaan adalah adanya ketidakutuhan pemahaman yang
dimiliki oleh penganut suatu agama. Kesulitan dalam menemukan pemahaman
atas teks atau
adanya kesulitan
pembacaan terkadang menyebabkan distorsi pemahaman atas makna pesan agama yang sesungguhnya. Kaitannya dengan hal
ini Abdullah menjelaskan:
…. Akibat pengaruh pemahaman
agama yang parsial yang kemudian bentuk pemahaman keagamaan yang parsial tersebut menggumpal dalam lapisan geologi pemikiran keagamaan, maka moral kenabian
yang aturannya bersifat
universal, inklusif,
hanif tereduksi sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi semata-mata eksklusif,
parti- kularistik, legalistik-formalistik dan ahistoris, sehingga untuk wilayah dan era tertentu dalam sejarah peradaban Islam terjadi proses distorsi
nilai-nilai etika
Islam sehingga menjadikannya bersifat
sempit menjerat. Bukan
lagi
proses internalisasi dan sosialisasi tetapi yang terjadi adalah proses
pemilihan yang bersifat dikotomis-antagonistik.
Kategori dan penggolongan identitas sosiologis
yang lebih bersifat dikotomis antagonistik lebih dipentingkan dari pada mencari titik temu berbagai fundamental values yang
mengancam berbagai
kelompok agama yang
pluralis.[4]
Di samping itu, hambatan lain adalah adanya
klaim kebenaran (truth of claim) yang masuk ke dalam wilayah
sosial-politik. Abdullah menyatakan
bahwa jika truth claim hanya terbatas
pada
aspek ontologis-metafisis, barangkali tak perlu dirisaukan.
Namun yang terjadi sebaliknya, truth claim tercampur dalam politik praktis, maka harapan besar terhadap peran
agama
mengatasi problem dunia kini makin pupus”.[5]
Sedangkan menurut Armada Riyanto, terdapat beberapa hambatan umum dalam dialog keagamaan:
1.
Tidak cukup memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara
benar
dan
seimbang akan menyebabkan kurangnnya penghargaan dan sekaligus akan mudah memunculkan sikap-sikap curiga yang
berlebihan.
2.
Perbedaan kebudayaan karena
tingkat pendidikan yang tidak sama, juga masalah bahasa
yang sangat peka dalam kelompok-kelompok tertentu.
3.
Faktor sosial
politik dan beban ingatan traumatis
akan konflik-konflik
dalam sejarah.
4.
Merasa diri
cukup
atau paling sempurna
sehingga memunculan sikap defensif dan
agresif.
5.
Kecenderungan untuk berpolemik bila meng- ungkapkan keyakinan
gagasannya. (6) Sikap tidak toleran yang kerap sekali diperparah oleh
faktor-faktor politik, ekonomi, ras, etnik
dan aneka kesenjangan lain.[6]
Menghadapi hambatan yang muncul dalam membangun dialog keagamaan, solusi yang
mungkin bisa ditawarkan adalah dengan mengadakan usaha secara
sungguh-sungguh dalam reinterpretasi dan pemaknaan terhadap berbagai aspek agama yang
mencakup dimensi teologis, antropologis dan
kosmologis. Pemaknaan
itu mesti
dilakukan secara lebih
holistik, sehingga
akan memberikan angin segar bagi upaya membangun dialog antar
agama demi menuju suatu pandangan
yang damai.
Dalam konteks Islam, dialog
keagamaan, yang menuntut sikap inklusifitas,
bagi umat Islam
bukanlah suatu permasalahan. Cyril Glasse, sebagaimana dikutip
oleh Madjid mengatakan “… the fact that one revela- tion should name others as authentic is
an extraordinary event in the his- tory
of religions” (… kenyatan bahwa sebuah wahyu (Islam)
menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai
yang
absah
adalah kejadian
luar biasa
dalam
sejarah agama-agama). Pernyataan di atas merupakan pengakuan
dari seorang Barat terhadap keunikan
konsep Islam tentang ahl al-kitab, sebuah konsep yang
belum pernah ada
sebelum Islam.20 Dengan tanpa bermaksud menunjukkan sikap
bangga, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan ajaran yang pertama kali memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama
kepada umat manusia atau dengan kata lain sejak awal kelahirannya Islam telah mengembangkan sikap inklusifitas yang
tinggi. Bahkan,
hal
tersebut dijadikan
sebagai salah satu
doktrin agama.
Hal
demikian ini tampaknya telah diikuti oleh agama lain.
Dalam
konteks sekarang,
sikap inklusif adalah suatu keniscayaan. Fenomena yang saat ini muncul dengan adanya kesadaran atas gejala pluralisme keagamaan dapat kita lihat dari perspektif ini. Kesadaran perlunya
toleransi terhadap berbagai perbedaan
dalam realitas sosial bukan lagi menjadi monopoli Islam. Ia merupakan keperluan dasar semua agama. Agama Kristen misalnya, sebelumnya terdapat
persoalan teologis
yang menjadi kendala utama pengembangan dialog dengan agama lain. Persoalan tersebut sehubungan dengan masalah sateriologi (tentang keselamatan diluar Kristus). Sebelum Konsili Vatikan II terdapat penafsiran
yang salah tentang kalimat ekstra eccelisian nulla salus
(di luar gereja tidak memperoleh keselamatan). Dengan diterbitkannya naskah Nosta Aetate, gereja Katolik
Roma mengakui eksistensi agama-agama lain.[7]
Dengan demikian, dialog keagamaan merupakan hal yang tidak dapat dinafikkan lagi. Dialog keagamaan, sekali lagi, adalah kebutuhan mendasar dan
penting bagi terwujudnya kehidupan yang
damai. Meskipun,
sebagaimana telah diuraikan di atas masih terdapat sejumlah
hambatan yang menghadang terkait
dengan upaya membangun dialog keagamaan ini.
Dalam konteks ini, barangkali terdapat beberapa model
dialog keagamaan yang dapat dikembangkan saat
ini adalah: Pertama, Dialog Teologis. Dialog
ini mengacu pada suatu upaya untuk memberikan pemahaman esoteris
agama-agama. Dialog
ini didasari pada suatu kesadaran bahwa inti ajaran dari tiap agama adalah pemasrahan diri pada sesuatu yang absolut. Syafi’i Anwar menjelaskan:
Di sisi lain,
meskipun terdapat perbedaan
asasi bukan berarti tidak
ada titik temu yang dapat melahirkan mutual understanding
di antara
agama-agama … untuk bisa melihat titik temu tidak
cukup hanya dengan menangkap dimensi
eksoteris (lahiriah) agama-agama. Tetapi perlu menghayati dimensi esoterisnya (bathin),
sehingga mampu
mengantarkan pemahaman
yang jauh lebih tinggi
dan bersifat
adi kodrati, pemahaman kepada yang
absolut, yang
ilahi.
Dengan modalitas di atas, kita akan bisa memasuki dialog antar agama dengan tenang dan lapang dada ….. pengakuan dan ajakan dialog terhadap penganut agama lain, para ahl al-kitab,
dalam rangka mencari titik temu atau kalimatun sawa’ itu dinyatakan dalam Al-qur’an secara tegas (QS. Ali Imron/3:64).[8]
Lebih jauh Nurcholish Madjid mengungkapkan:
Karena itu monoteisme, atau
lebih tepatnya
– seperti dikatakan oleh Max Weber – monoteisme murni, adalah titik temu
semua agama wahyu. Tetapi
selalu
ada kemungkinan bahwa para
pemeluk agama
yang berbeda dapat bersepakat mengenai sehimpunan titik temu yang mencakup nilai-nilai yang lebih
dari sekedar monoteisme. Dan semakin banyak nilai
yang
dicapai dalam titik temu itu
seharusnya makin baik jadinya…..[9]
Dialog teologis,
dengan demikian,
merupakan dialog keagamaan yang berupaya untuk membangun kesaling-pahaman
antar umat beragama dalam konteks
teologi.
Kedua, Dialog Antropologis. Dialog ini pada prinsipnya merupakan awal
dari
suatu kesadaran
bahwa dalam sejarah
peradaban manusia ia merupakan citra Tuhan di dunia. Sebagai perwujudan citra Tuhan (khalifatullah) manusia mesti mewujudkan sifat-sifat
Tuhan dalam ke- hidupannya. Dalam bahasa Sutrisno, manusia
sebagai citra
Tuhan
ia men- cari
bahasa-bahasa pengucapan
sosialnya, bahasa hukum dan bahasa politiknya untuk menjaga dan melindungi sesuatu yang hakiki dalam ranah kemanusiaannya. Selamat
dan sejahteranya manusia dalam dimensi vertikal dan horisontalnya perlu
dan harus diucapkan secara sosial dengan mewujudkan keadilan
dan pemerataan yang mengatasi batas-batas agama dan kelompok. Melalui dialog ini,
agama-agama akan lebih mampu untuk
melihat secara holistik-universal terhadap berbagai
persoalan kemanusiaan yang
dihadapi.[10]
Ketiga, Dialog
Kosmologis. Tantangan agama-agama di masa depan terhadap kegagalan ideologi sekuler dalam menciptakan peradapan manusia yang sesuai dengan harkat kemanusiaan merupakan dorongan mendasar bagi upaya dialog ini. Kerusakan lingkungan
hidup, alienasi yang menjadi gejala di tengah manusia global akibat kemajuan IPTEK, mun- culnya berbagai bencana
alam, memerlukan jawaban dari agama-agama.[11]
Melalui dialog
kosmologis, diharapkan
antar umat
beragama dapat membangun komunikasi dalam rangka memberikan keselamatan terhadap alam semesta. Semua umat beragama mempunyai tanggung
jawab yang sama
untuk menjaga keselamatan dunia dari kerusakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setiap agama memiliki dua
kecenderungan. Yang pertama, bersifat tradisional, dogmatis, ritualistik,
institusional, dan legal. Beberapa sifat tersebut merupakan hasil sejarah dan
juga hasil interaksi sosial. Sifat yang pertama inilah dapat dilihat dari
kacamata historisitas, para pakar sosiolog, antropolog, dan sejarawan memandang
agama sebagai fenomena sosial. Dengan bahasa lainnya, menurut Frithjof Schoun
dengan teori ‘Esoteris-Eksoteris’-nya mengatakan bahwa kecenderungan agama
dilihat dari fenomena sosialnya merupakan ruang lingkup eksoteris dalam
ekspresi keberagamaan manusia.
Berbicara
tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan
utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai
secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim, baik secara sosiologis,
teologis maupun etis.
Meskipun terdapat prinsip-prinsip dalam membangun
dialog, bukan
berarti kemudian tidak menyisakan hambatan dan
kesulitan. Terdapat beberapa hambatan yang
menghadang berkaitan dengan upaya mem- bangun dialog keagamaan.
B.
Saran
Maka dengan
adanya materi “Persoalan dan Hambatan dalam Hubungan Antar Agama“. Marilah kita
memahami mendalam tentang materi ini terutama dalam hal ini kita sama – sama
mencari solusi dalam persoalan hubungan antar agama kontemporer. Agar
terciptanya masyarakat yang aman , tentram , dan damai.
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak
kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penulisan. Kami mengharap
kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi para
pembaca.Amin
DAFTAR PUSTAKA
Adian
Husaini, 2010. Pluralisme Agama
Musuh-Musuh Agama (Pandangan Katolik,
Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap pemahaman Pluralisme Agama)” :
Kanisius
Amin Abdullah, 1996.Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Armada Riyanto, 1995. Dialog Agama dalam Pandangan
Gereja Katolik, Yogjakarta: Kanisius.
Nurcholish Madjid, 1995.
Islam Agama
Peradaban, Jakarta: Paramadina.
Syafi’i Anwar, “Sikap
Positif kepada Ahl Al-Kitab”, Ulumul Qur’an, .IV/4/993.
Nurcholish Madjid, 1998. “Mencari Akar-Akar
Islam Pluralisme Modern: Pengalaman Indone- sia.
Bandung: Mizan.
Mudji Sutrisno, 1993.“Dialog Antar Agama dalam Pigura Humanisasi”, Jurnal Ulumul Qur’an.
Prof.
Rasjidi, 1967. “ Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agam”, Jakarta.
M. Rasjidi, 1968. Al-Djami’ah,
Nomor Khusus Mei Tahun ke VIII.
[2] M.
Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII, hlm.35.
[3]
Adian Husaini, dengan tema “Pluralisme Agama Musuh-Musuh Agama (Pandangan
Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap pemahaman Pluralisme Agama)” 2010, halaman. 24-25.
[6] Armada
Riyanto, Dialog Agama dalam Pandangan
Gereja Katolik, Yogjakarta: Kanisius, 1995, hlm. 116.
[9] Nurcholish Madjid, “Mencari
Akar-Akar Islam Pluralisme Modern: Pengalaman
Indone- sia” dalam Mark R. Wood
ward, Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 98.
[10] Mudji
Sutrisno, “Dialog
Antar Agama dalam Pigura Humanisasi”, Jurnal Ulumul
Qur’an, IV/4/1993, hlm. 40
0 Komentar untuk "PERSOALAN DAN HAMBATAN DALAM HUBUNGAN ANTAR AGAMA"