MAKALAH
ASAL USUL AGAMA
Makalah Tugas Induvidu Mata Kuliah Sosiologi Agama
Dosen Pengampu : Rahmat Fajri, M.Ag.
Di Susun Oleh :
Naufal
14520022
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur atas
kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya
kepada kelompok kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “
Asal
Usul Agama
“
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini berkat tuntunan Tuhan yang maha Esa , kami berterima kasih kepada Dosen
pengampu kami, karna membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam proses penulisan
makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik
materi maupun cara
penulisan. Namun demikian kami telah berusaha dengan segala kemampuan
kami melakukan yang terbaik.
Kami
berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca makalah ini.
Yogyakarta
,
10 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………………………
Daftar
Isi …………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………............
A.
Latar
Belakang ..............……………………………….
BAB
II PEMBAHASAN
……………………………………………
A. Definisi
Agama ............................................................
B. Asal Usul Agama .........................................................
C. Teori Asal Usul Agama ................................................
BAB
III PENUTUP ………………………………………………….
A.
Kesimpulan
……………………………………………..
B.
Saran ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran - ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.[1]
Karena inti pokok dari
semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan, sedangkan persepsi manusia
tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka agama-agama yang dianut manusia di dunia
ini pun bermacam-macam pula. Barangkali, karena kondisi seperti inilah Mukti
Ali mengatakan:
Barangkali tidak ada kata yang paling
sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada
tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal
batini dan subyektif, juga sangat individualistik…. Alasan kedua, bahwa
barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional
lebih daripada membicarakan agama… maka dalam membahas tentang arti agama
selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama
itu…. Alasan ketiga, bahwa konsepsi
tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian
agama itu.[2]
Mengenai arti agama
secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan
bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata
yaitu : “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.[3]
Kata agama dalam bahasa
Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut
“religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie
(bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit
berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti
menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Meskipun terdapat
perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun umumnya kata diin
sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan “agama”.[4]
Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah.
Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib
dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan,
dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.[5]
Dari pengertian agama
dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi agama. Harun
Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan
gaib yang menguasai manusia.
3.
Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib
yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang
berasal dari suatu kekuatan gaib.
6.
Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan gaib.
7.
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan
takutterhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.[6]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Agama
Definisi agama
Agama menurut
bahasa arab adalah “Din” (ketaatan).
Agama menurut
universal adalah “Dharma” (ketentuan).
Agama menurut
istilah adalah merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu religion yang
berasal dari bahasa latin relig (are) yang artinya “mengikat”.
Jadi , Agama
adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dgn pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya:Islam,Kristen,Hindhu,Buddha,dll.[7]
B. Asal Usul Agama
Dalam buku
Prof. Evans Pritchard , guru besar antropologi social pada Ujiversitas Oxford dari pada tahun 1946 – 1970. Menurut Prof. Evans
Pritchard Ada dua teori pokok tentang
asal – usul agama. yaitu sebagai berikut:
Yang pertama, yaitu bersumber pada ajaran –
ajaran agama wahyu, mengatakan bahwa asal muasal agama adalah dari Tuhan
sendiri yang diturunkan kepada manusia kedunia bersama – sama dengan penciptaan
manusia pertama, yaitu Adam, yang sekaligus juga merupakan nabi pertama.
Selanjutnya dalam perjalanannya yang jauh agama mengalami pasang surut, pada
tempat dan kurun waktu tertentu agama diselewengkan oleh pemeluknya, sehingga
agama pada dasarnya sifatnya Monotheistik menjadi Poletheis dan bahkan Animis
maupun Samanis karena itulah kemudian Tuhan mengirim utusan – utusannya untuk
meluruskan kembali penyelewengan itu, yang tetap terjadi dari masa – kemasa,
sampai dikirimkannya wahyu terakhir kepada nabi Muhammad Saw.
Yang kedua, tinjauan secara antropologis,
sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama yaitu bahwa agama
adalah merupakan fenomena sosial, kultural, dan spiritual. Yang mengalami
revolusi dari bentuknya yang sederhana, yang biasa dinamakan agama primitive, atau
disebut agama alam (natural religion),
kebentuk yang lebih sempurnah sehongga akhirnya sampai pada yang kita jumpai
sekarang ini.[8]
C. Teori Asal Usul Agama
Teori Asal Mula Agama , menurut beberapa Ahli yaitu sebagai berikut ;
Teori-teori terpenting
tentang asal mula dan inti religi.
Masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal seperti religi atau
agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan
yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia
melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk mencari
hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek perhatian para ahli
pikir sejak lama. Adapun mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori
yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :
a) Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai
sadar akan adanya faham jiwa.
b) Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui
adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya.
c) Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk
menghadapi krisis-krisis yang ada dalam
jangka waktu hidup manusia.
d) Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian
yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
e) Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau
emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa
kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
f) Teori
bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat
suatu firman dari Tuhan.
Berikut ini adalah beberapa teori asal
usul agama , yaitu :
1. Teori Jiwa
“Teori Jiwa”, pada mulanya berasal dari
seorang sarjana antropologi Inggris, E.B.Tylor, dan diajukan dalam kitabnya
yang terkenal berjudul Primitive Cultures (1873). Menurut Tylor, asal mula
agama adalah kesadaran manusia akan faham jiwa. Kesadaran akan faham itu disebabkan
karena dua hal, ialah :
a) Perbedaan
yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati.
Suatu makhluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tak lama
kemudian makhluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat
laun mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh
suatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani dan kekuatan itulah yang disebut
jiwa.
b) Peristiwa
mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempattempat lain daripada
tempat tidurnya. Demikian manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang
ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain
tempat. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan
keyakinan di antara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh
jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya
dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia jatuh pingsan.
Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh
berada di dalam keadaan yang lemah. Tetapi kata Tylor, walaupun melayang,
hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan, tetap
ada. Hanya pada waktu seorang makhluk manusia mati, jiwa melayang terlepas, dan
terputuslah hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu tampak
dannyata, kalau tubuh jasmani sudah hancur berubah debu di dalam tanah atau
hilang berganti abu di dalam api upacara pembakaran mayat; maka jiwa yang telah
merdeka terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat semau-maunya. Alam semesta
penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Tylor tidak disebut soul atau
jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau mahluk halus. Demikian pikiran manusia
telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi kepercayaan
kepada mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat tertua di
dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang
menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk-makhluk halus tadi,
yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, yang bertubuh halus
sehingga tidak dapat tertangkap panca
indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat diperbuat manusia,
mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga
menjadi obyek daripada penghormatan dan penyembahannya, dengan berbagai upacara
berupa doa, sajian, atau korban. Agama serupa itulah yang disebut oleh Tylor
animism.
Pada tingkat kedua di
dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan
oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu.
Sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang
meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu, jalannya matahari
di angkasa, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh
jiwa alam. Kemudian jiwa alam tadi itu dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia
seperti makhluk-makhluk dengan suatu pribadi, dengan kemauan dan pikiran.
Makhluk-makhluk halus yang ada di belakang gerak alam serupa itu disebut
dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga di
dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam
masyarakat manusia, timbul pula kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup
di dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dengan di dalam dunia makhluk manusia.
Demikian ada pula suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja dewa sebagai
yang tertinggi, sampai pada dewa-dewa yang terendah. Suatu susunan serupa itu
lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada
hakekatnya hanya merupakan penjelmaan
saja dari satu dewa yang tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama
monotheisme.[9]
2. Teori Batas Akal
Teori Batas Akal”,
berasal dari sarjana besar J.G. Frazer, dan diuraikan olehnya dalam jilid I
dari bukunya yang terdiri dari 12 jilid berjudul The Golden Bough (1890).
Menurut Frazer, manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem
pengetahuannya; tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin maju
kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu; tetapi dalam banyak kebudayaan,
batas akal manusia masih amat sempit. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan
dengan akal dipecahkannya dengan magic, ialah ilmu gaib. Magic menurut Frazer
adalah segala perbuatan manusia (termasuk abstraksi-abstraksi dari perbuatan)
untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta
seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Pada mulanya kata Frazer,
manusia hanya
mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan
soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Agama
waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak
dari perbuatan magicnya itu tidak ada hasilnya juga, maka mulailah ia percaya bahwa
alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa dari padanya,
maka mulailah ia mencari hubungan dengan makhlukmakhluk halus yang mendiami
alam itu. Demikianlah timbul agama.
Menurut Frazer memang
ada suatu perbedaan yang besar di antara magic dan religion. Magic adalah segala
sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai
dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya,
religion adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud
dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus
seperti ruh, dewa dsb., yang menempati alam. Kecuali menguraikan pendiriannya
tentang dasar-dasar religi, Frazer juga membuat dalam karangannya The Golden
Bough tersebut, suatu klarifikasi daripada segala macam perbuatan ilmu gaib kepercayaan dalam beberapa tipe ilmu gaib.[10]
3. Teori Krisis dalam Hidup Individu
Pandangan ini berasal
antara lain dari sarjana-sarjana seperti M. Crawley dalam bukunya Tree of Life
(1905), dan diuraikan secara luas oleh A. Van Gennep dalam bukunya yang
terkenal, Rites de Passages (1909). Menurut sarjana-sarjana tersebut, dalam
jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek
perhatiannya, dan yang sering amat menakutinya. Betapapun bahagianya hidup
orang, ia selalu harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis
dalam hidupnya. Krisis-krisis itu yang terutama berupa bencana-bencana sakit dan
maut, tak dapat dikuasainya dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau kekayaan
harta benda yang mungkin dimilikinya. Dalam jangka waktu hidup manusia, ada
berbagai masa di mana kemungkinan adanya sakit dan maut itu besar sekali, yaitu
misalnya pada masa kanak-kanak, masa peralihan dari usia muda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan
akhirnya maut. Dalam hal menghadapi masa
krisis serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya
dan menguatkan dirinya. Perbuatan-perbuatan serupa itu, yang berupa
upacara-upacara pada masa-masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal dari
agama dan bentuk-bentuk agama yang tertua.[11]
4. Teori Kekuatan Luar Bisa
Pendirian ini, yang
untuk mudahnya akan kita sebut “Teori Kekuatan Luar Biasa”, terutama diajukan oleh
sarjana antropologi bangsa Inggris, R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of
Religion (1909). Sarjana ini mulai menguraikan teorinya dengan suatu kecaman
terhadap anggapan-anggapan Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia terhadap
jiwa. Menurut Marett kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlampau
kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru ada pada tingkat-tingkat
permulaan dari kehidupannya di muka bumi ini. Sebagai lanjutan dari kecamannya
terhadap teori animisme Tylor itu, maka Marett mengajukan sebuah anggapan baru.
Katanya, pangkal dari segala kelakuan keagamaan ditimbulkan karena suatu perasaan
rendah terhadap gejalagejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai
biasa di dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa itu berasal, dan yang dianggap oleh manusia dahulu sebagai
tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah
dikenal manusia di dalam alam sekelilingnya, disebut Supernatural.
Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap
akibat dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa, atau
kekuatan sakti.
Adapun kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam
gejala-gejala, hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, dianggap
oleh Marett suatu kepercayaan yang ada
pada makhluk manusia sebelum ia percaya kepada makhluk halus dan ruh; dengan
kata lain, sebelum ada kepercayaan
animisme. Itulah sebabnya bentuk agama yang diuraikan Marett itu sering
disebut praeanimisme.[12]
5. Teori Sentimen Kemasyarakatan
“Teori Sentimen Kemasyarakatan”, berasal dari
seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis bernama E.
Durkheim, dan diuraikan olehnya dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie
Religieuse (1912). Durkheim yang juga menjadi amat terkenal dalam kalangan ilmu
antropologi budaya, pada pangkalnya mempunyai suatu celaan terhadap Tylor,
serupa dengan celaan Marett tersebut di atas. Beliau beranggapan bahwa alam
pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaannya itu belum dapat
menyadari suatu faham abstrak “jiwa”, sebagai suatu substansi yang berbeda dari
jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia pada masa itu belum
dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti perubahan dari jiwa menjadi ruh
apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Celaan terhadap teori
animisme Tylor itu termaktub dalam permulaan buku Les Formes Elementaires de la
Vie Religieuse, tempat beliau mengumumkan suatu teori yang baru tentang
dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah
dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu berpusat kepada beberapa
pengertian dasar, ialah :
a) Makhluk
manusia pada waktu ia pertama kali timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas
religi itu bukan karena ia
mempunyai bayangan-bayangan abstrak
tentang jiwa atau roh dalam alam pikirannya, yaitu suatu kekuatan yang
menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam, melainkan karena suatu getaran jiwa,
suatu emosi keagamaan, yang timbul di dalam alam jiwa manusia dahulu, karena
pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
b) Sentimen
kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan
yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cintadan sebagainya terhadap
masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia di mana ia hidup.
c) Sentimen
kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya
merupakan pangkal daripada segala kelakuan
keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya.
Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan
latent, sehingga perlu dikobarkan
kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan kembali sentimen kemasyarakatan
adalah dengan mengadakan suatu kontraksi masyarakat artinya dengan mengumpulkan
seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa.
d) Emosi
keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan , membutuhkan suatu
obyek tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi
obyek daripada emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula
sifat anehnya, bukan sifat megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan
anggapan umum dalam masyarakat. Obyek itu ada karena salah satu peristiwa
kebetulan dalam sejarah kehidupan
sesuatu masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak orang di dalam
masyarakat. Obyek yang menjadi tujuan emosi keagamaan itu juga mempunyai obyek
yang bersifat keramat, bersifat sacre, berlawanan dengan obyek lain yang tidak
mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu, ialah obyek yang tak-keramat, yang
profane.
e) Obyek keramat sebenarnya tidak lain daripada
suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli benua Australia misalnya,
obyek keramat, pusat tujuan daripada sentimen-sentimen kemasyarakatan, sering
berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering juga obyek keramat itu
berupa benda. Oleh para sarjana obyek keramat itu disebut totem. Totem itu
(jenis binatang atau obyek lain) mengonkretkan prinsip totem yang ada di
belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di dalam
masyarakat, berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian
tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan,
adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti atau essence daripada tiap religi,
sedangkan ketiga pengertian lainnya ialah kontraksi masyarakat, kesadaran akan
obyek keramat berlawanan dengan obyek takkeramat, dan totem sebagai lambang
masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi masyarakat,
obyek keramat dan totem akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan (c)
mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada
sesuatu religi di dalam sesuatu masyarakat yang tertentu.
Susunan tiap masyarakat
dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang berbeda-beda ini telah menentukan
adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaannya tampak lahir pada
upacara-upacara, kepercayaan dan
mitologinya.[13]
6. Teori Wahyu Tuhan
“Teori Firman Tuhan”, pada mulanya berasal
dari seorang sarjana antropologi bangsa Austria bernama W. Schmidt. Sebelum
Schmidt sebenarnya ada sarjana lain yang pernah mengajukan juga pendirian tersebut.
Sarjana lain ini adalah seorang ahli kesusasteraan bangsa Inggris bernama A.
Lang.
Sebagai ahli
kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat dari
banyak suku bangsa di dunia. Di dalam dongengdongeng itu, Lang sering
mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa bersangkutan
dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan
penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Kepercayaan kepada seorang tokoh dewa serupa itu menurut Lang
terutama tampak pada suku-suku bangsa yang amat rendah tingkat kebudayaannya,
dan yang hidup dari berburu atau meramu, ialah misalnya suku-suku bangsa
berburu di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan, yang biasanya disebut orang
Bushman, suku-suku bangsa penduduk asli benua Australia, suku -suku bangsa Negrito
di daerah hutan rimba di Kamerun dan Kongo, Afrika Tengah, penduduk kepulauan
Andaman, penduduk pegunungan Tengah di Irian Timur, dan juga beberapa suku bangsa
penduduk asli benua Amerika Utara. Berbagai hal membuktikan bahwa kepercayaan
itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh agama Nasrani atau Islam, maka
kepercayaan tadi malahan tampak
seolah-olah terdesak ke belakang oleh kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, dewa-dewa alam,
ruh, hantu, dan sebagainya. A. Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi adalah suatu
kepercayaan yang sudah amat tua, dan
mungkin merupakan bentuk religi manusia
yang tertua. Adapun pendiriannya itu diumumkannya dalam beberapa karangan, antara
lain dalam buku yang berjudul The Making of Religion (1898).
Anggapan A. Lang
terurai di atas, tak lama kemudian diolah lebih lanjut oleh W.Schmidt.
Tokoh besar dalam kalangan ilmu
antropologi ini adalah guru besar pada suatu perguruan tinggi yang pusatnya
mula-mula di Austria, kemudian di Swiss, untuk mendidik calon-calon
pendeta penyiar agama Khatolik dari
organisasi Societas Verbi Divini. Di dalam suatu kedudukan serupa itu maka
mudah dapat dimengerti bagaimana anggapan akan adanya kepercayaan kepada
dewa-dewa tertinggi di alam jiwa bangsa-bangsa yang masih amat rendah tingkat
kebudayaannya, adalah suatu anggapan yang amat cocok dengan dasar-dasar cara
berpikir W. Schmidt dan juga dengan filsafatnya sebagai sorang pendeta agama Khatolik.
Di dalam hubungan itu beliau percaya bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan
yang diturunkan kepada makhluk manusia pada masa permulaan ia muncul di muka
bumi ini. Karena itulah adanya tanda-tanda dari pada suatu kepercayaan kepada dewa pencipta, justru pada bangsabangsa
yang paling rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang paling tua menurut
Schmidt), memperkuat anggapannya mengenai adanya titah Tuhan asli, atau
Uroffenbarung itu. Demikianlah kepercayaan yang asli dan bersih kepada Tuhan,
atau kepercayaan Urmonotheismus tadi itu malahan ada pada bangsa-bangsa yang tua
yang hidup pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Di dalam
zaman kemudian, ketika makin maju kebudayaan manusia, maka makin kaburlah kepercayaan asli terhadap Tuhan; makin banyak kebutuhan
manusia, makin terdesaklah kepercayaan
asli itu oleh pemujaan kepada makhlukmahluk halus, ruh, dewa, dan
sebagainya.
Anggapan Schmidt
sebagaimana diuraikan di atas dianut oleh beberapa orang sarjana yang untuk
sebagian besar bekerja sebagai penyiar agama Nasrani dari organisasi Societas
Verbi Divini. Di samping menjalankan tugas sebagai penyiar agama Nasrani di
dalam berbagai daerah di muka bumi, mereka melakukan penelitian-penelitian
antropologi budaya berdasarkan atas anggapan-anggapan pokok daripada guru
mereka. Demikian antara lain, sarjana-sarjana itu mencari di dalam kebudayaankebudayaan
di daerah mereka masing-masing akan adanya tanda-tanda suatu kepercayaan kepada dewa tertinggi.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yg berhubungan dgn pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya:Islam,Kristen,Hindhu,Buddha,dll.
Dalam buku Prof. Evans Pritchard , guru besar
antropologi social pada Ujiversitas
Oxford dari pada tahun 1946 – 1970. Menurut Prof. Evans Pritchard Ada dua teori pokok tentang asal – usul
agama. yaitu sebagai berikut:
1.
Agama Wahyu
bahwa asal muasal agama adalah dari Tuhan
2.
Agama
antropologis, sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama yaitu
bahwa agama adalah merupakan fenomena sosial, kultural, dan spiritual.
Berikut
ini adalah beberapa teori asal usul agama , yaitu sebagai beriku ini :
1. Teori
Jiwa
2. Teori
Batas Akal
3.
Teori Krisis dalam
Hidup Individu
4.
Teori Kekuatan Luar
Bisa
5.
Teori Sentimen
Kemasyarakatan
6. Teori
Wahyu Tuhan
B.
Saran
Maka
dengan adanya materi
“Asal Usul Agama“.
Marilah kita memahami mendalam tentang Agama terutama dalam hal ini
Historical Asal Muasal Agama.
Agar terciptanya masyarakat
cerdas intelektual yang membuat keamanan , tentraman , dan
damaian.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
banyak kekurangan baik
dari segi materi
maupun dari segi
penulisan. Kami mengharap kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi
para pembaca.Amin
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Madjid et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, Malang, 1989,
Mukti
Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung, 1971.
Taib
Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin
Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung.
Abdul
Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997.
Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985.
Portable_Kamus_Besar_Bahasa_Indonesia (KBBI)
E.E Evans Pritchard ,Teori – Teori tentang Agama Primitif ,Jakarta : PT Djaya Pirusa , 1984.
Romdhon,
et. al, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta, 1988.
Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka
Setia, Bandung.
Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok
Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 1972.
Hilman
Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran
kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993.
[1] Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I,
Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm.
26
[2] Mukti
Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung, 1971,
hlm. 4. . lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu
Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, hlm. 117-118.
[3] Taib
Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin
Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 76.
[4] Abdul
Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997, hlm. 63.
[6] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, hlm.10.
[8] E.E Evans
Pritchard ,Teori – Teori tentang Agama Primitif (Jakarta : PT Djaya Pirusa , 1984) ,.halm.ix
[9] Romdhon, et. al,
Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga , Press, Yogyakarta, 1988, hlm.
18-19.
[10] Dadang
Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka
Setia, Bandung, 2000, hlm. 40-41.
[12] Hilman Hadi Kusuma,
Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran kepercayaan,
Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 32-33.
[14] Romdhon, et.al, op.cit,
hlm. 22-23
1 Komentar untuk "ASAL USUL AGAMA"
Artikel yang menarik sob.