Hidup Adalah Tanggung Jawab, Pengabdian, dan Ibadah

MAKALAH PENDEKATAN ILMIAH (PENDEKATAN FENOMENOLOGIS)


MAKALAH
PENDEKATAN ILMIAH (PENDEKATAN FENOMENOLOGIS)
Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu :Dr. Muhammad Taaufik, S.Ag., M.A.


Di Susun Oleh :
  Naufal                                    (18205010016)
   

KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT
MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama Islam selain sebagai ajaran juga sebagai ilmu. Sebagai ajaran, agama mengandung unsur masalah yang ghaib, adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang ghaib tersebut, respon emosional dari manusia, baik respon dalam bentuk rasa takut maupun perasaan cinta. Adapun agama sebagai ilmu  disebut dengan ilmu agama.
Ilmu-ilmu agama dewasa ini telah mengalami kemajuan yang pesat, dengan adanya penemuan-penemuan baru, secara nyata hal ini memperlihatkan bahwa agama merupakan objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas.[1] Ilmu agama merupakan rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitiff untuk mengkaji atau meneliti fenomena dan ajaran agama dengan menggunakan berbagai macam metode ilmiah sehingga menghasilkan kumpulan fenomena dan ajaran yang sistematis untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman ataupun melakukan penerapan.[2]
Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu pendekatan modern terhadap kajian agama. Pendekatan fenomenologi muncul sebagai salah satu pendekatan yang digunakan untuk memperhatikan bagaimana gejala-gejala atau fenomena-fenomena yang menampakkan diri. Dalam kaitan dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak pernah terbekukan secara tegas. Oleh karena itu, kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologi terhadap agama. Namun demikian, bila dibandingkan dengan disiplin-disiplin dan pendekatan lain yang memberi pemahaman tentang subjek (agama) kepada kita, pendekatan fenomenologis berperan dengan cara yang khas.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Fenomenologi
Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata, juga dapat diartikan suatu kejadian yang dapat diamati level indera.[4] Selanjutnya Achmadi mengatakan bahwa fenomenologi merupakan ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera sedangkan dalam filsafat fenomenologi hal tersebut memiliki makna yang berbeda yaitu, bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah dan tidak harus berupa kejadian-kejadian.[5]
Selanjutnya secara harfiah istilah fenomenologi berasal dari yunani pahainomenon yang memiliki arti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Dengan demikian secara operasional dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).[6] Pengertian lain menyebutkan bahwa fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari suatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklarifikasikan fenomena (kajian tentang fenomena), dengan demikian fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakkannya.[7]


B.     Objek Pendekatan Fenomenologi
Objek kajian fenomenologi, Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan seluruh apa yang terjadi di alam, yang terjadi dari empat lapisan, yaitu:
1.    Lapisan terluar yang terkait dari tiga bagian yaitu:
a.       Objek yang suci, ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tatacara memuja Tuhan, waktu yang suci di mana melaksanakan ritual keagamaan, angka suci dengan diukur kesucian objek, ruang, waktu, kata-kata, manusia dan perbuatan yang suci.
b.      Kata-kata yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (Firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan).
c.       Manusia dan masyarakat yang suci berupa komunikasi seorang manusia dengan hambanya.
2.    Lapisan dalam yang pertama
Schimmel menyebutkan sebagai The World Of Religious Imagination yang terdiri dari konsep ke Tuhanan, konsep penciptaan, konsep wahyu, konsep penebusan dosa atau penyelamatan dan konsep  tentang hari akhir.
3.    Lapisan dalam kedua
Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan diri manusia yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.
4.    Lapisan paling dalam (pusat)
Merupakan realitas ke Tuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh fikiran dalam, pengalaman hati melalui dua pengertian:
a.    Tuhan sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia yang suci, maha benar, maha adil, maha cinta, maha pengasih, sang penyelamat yaitu Tuhan yang personal diekpresikan dengan kata “KAU”.
b.   Tuhan yang maha agung diekpresikan sebagai “DIA”.[8]
C.      Karektiristik Dasar Pendekatan Fenomenologi
            Kajian fenomenologi terhadap esensitas keberagamaan manusia muncul karena adanya ketidak puasan para agamawan terhadap kajian historis yang hanya mengkaji aspek-aspek normativitas agama dari kulit luar atau aspek eksternal saja, sedangkan aspek internalitas-kedalaman keberagamaan kurang tersentuh. Oleh karena itu muncullah sebuah karekteristik fenomenologi menurut Ascott Maoreu adalah:[9]
1.    Fenomenologi agama merupakan kajian yang Descriptively Orieted, yaitu mencari deskripsi dan interpretasi fenomena agama meliputi ritual, simbol, doa, upacara, teolog, orang suci, seni, kepercayaan dan sejumlah pelaksanaan keagamaan lainnya baik secara bersama-sama (publik) ataupun individu (private).
2.    Fenomenologi agama diorientasikan kepada diskripsi empatik (insider) dengan memelihara peristiwa-peristiwa sebagai sentral, bukan pemecahan masalah (problem solving). Metode ini menggambarkan fenomena dari prespektif pelaku (practitioner). 
3.    Metode fenomenologi menjelaskan fenomena yang digambarkan dengan pendekatan behavior science, yaitu menemukan undang-undang universal untuk memprediksi tingkah laku masa depan.
4.    Kajian fenomenologi bersifat comparative, pendekatan fenomenologi pada data yang berhubungan dengan signifikan studi, karena makna akan ditemukan dalam data dengan metode komparatif.
5.    Metode fenomenologi menghindai reduksionisme (mengurangi/meremehkan) fenomena keagamaan sebagai terma-terma sosiologis, psikologis, antropologis, ekonomi atau lingkungan secara murni.
6.    Kajian fenomenologi agama mengembangkan pemahaman empatik terhadap pengalaman yang tengah diuji dan menangguhkan pertanyaan tentang kebenaran untuk kepentingan pengembangan pemikiran ke dalam esensi pengalaman keagamaan.
7.    Tujuan akhir fenomenologi agama adalah mengembangkan pemikiran kepada struktur dan makna esensial dari pengalaman keagamaan. Kajian fenomenologi berfungsi sebagai penerjemah dan mempresentasikan pengalaman keagamaan dan intentionality (kesengajaan) para penganut agama.

D.           Pendekatan Fenomenologi Agama
            Pendekatan fenomenologi awalnya adalah istilah filsafat yang digunakan oleh Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859-1938), orang sering menyebutnya Edmund Husserl atau Husserl saja. Husserl adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Fenomena yaitu apa yang tampak. Fenomena mempunyai pengertian suatu obyek atau gejala yang tampak pada kesadaran kita secara indrawi.[10]
            Fenomenologi berarti uraian atau pembahasan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala. Fenomenologi hakekatnya ingin mencapai pengertian yang benar, yaitu pengertian yang menangkap realitas seperti dikehendaki oleh realitas itu sendiri.[11]
Menurut feomenologi, realitas dapat ditangkap oleh pengertian manusia. Pengertian adalah tempat bertemu dan bersatunya manusia dengan realitas. Dalam pertemuan itu realitas menampakkan diri, menggejala, akan tetapi ia juga menyembunyikan diri. Pengertian manusia tentang susuatu hal bisa bertambah, menjadi lebih sempurna. Bertambah dan sempurnanya pengertian itu karena manusia selalu menyelidiki, bertanya, dan terus bertanya.[12]
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya fenomenologi adalah metode filsafat, memaparkan langkah-langkah yang harus diambil tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menggejala.
Menurut Blekeer fenomenologi agama adalah studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut agama, doa-doa inisiasi, upacara penguburan dan lain sebagainya, yang dicoba diperoleh dari hal ini adalah hakikat yang sama dari gejala-gejala yang berbeda.[13] Fenomenologi agama merupakan  metodelogi ilmiah dalam meneliti fakta religious yang bersifat subyektif seperti perkiraan, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman dan apa saja fenomenologi adalah realitas, tampak yaitu fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri. Karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena tersebut.[14]
Tugas utama fenomenologi agama adalah menjelaskan struktur-struktur inti gejala-gejala keagamaan. Fenomenologi agama merupakan pendekatan sistematis dan komparatif yang mencoba menggambarkan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam berbagai macam gejala keagamaan. Unsur yang sama ini adalah makna inti yang diterapkan di dalamnya, dimana makna inti hanya dapat dipahami dengan penggabungan pengetahuan tentang fakta-fakta histori dengan suatu simpati, empati dan perasaan (feeling) terhadap data-data keagamaan.[15]
Van Der Leeuw dalam bukunya Religion in Essence And Manifestation: A Study in Phenomenology of Religion menawarkan setidaknya terdapat tujuh langkah dalam fenomenologi sebagai pendekatan studi agama:
1.      Klasifikasi, yaitu memeta-metakan fenomena agama sesuai kategori, misalnya kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, teks-teks suci, festival dan mitos. Pengklasifikasikan ini diharapkan mampu menggali nilai diri fenomena-fenomena yang ada.
2.      Mengikut sertakan gejala itu kedalam kehidupan kita, dalam artian peneliti harus membaur dengan fenomena tersebut, karena yang muncul itu selalu merupakan sebuah tanda dengan arti yang pasti, dan yang harus diinterpretasi. Interpretasi itu hanya dapat dilakukan kalau gejala itu dialami dengan sengaja, sadar dan dengan metode.
3.      Epoche, yaitu pengurungan (bracketing) sementara semua pertimbangan nilai normatif. Selama penelitiannya, fenomenologi agama harus menahan diri dari memberikan penilaian, karena penilaian yang belum waktunya akan menghalang-halangi pengetahuam tentang eensi, sebuah konsep yang diambil dari filsafat Hegel.
4.      Menari esensi gejala dan “tipe ideal” hubungan struktur-struktur. Upaya ini untuk memperoleh pemahaman holistic tentang berbagai aspek terdalam suatu agama dari informasi yang didapat.
5.      Das verstehen, yaitu bisa mengerti dan memaami keaslian gejala-gejala agama.
6.      Fenomenologi tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan lain. Dimaksudkan bisa mengadakan koreksi terhadap hasil penelitian dengan bantuan filosofi dan ilmu purbakala.
7.      Memberikan kesaksian hasil penelitiannya.[16]

E.       Kontribusi Pendekatan Fenomenologi Dalam Kajian Islam: Topik Fenomenologi
            Fenomenologi agama Islam merupakan sebuah gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena keagamaan. Menurut Taufik Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga topik utama, yaitu:
1.      Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari ekinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan pada mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religion wissenschaft)
2.      Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana merupakan awal dari keterbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga meskipun berasal dari satu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya, (sosiologis, antropologis, sejarah dan seterusnya).
3.      Menganut sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan social dan dinamika sejarah, kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat symbol dan ajaran agama.[17]
Studi Islam (Islamic Studies) adalah salah satu studi yang mendapat perhatiaan di kalangan ilmuan.Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak di kaji oleh para peminat studi agama dan studi – studi lainnya. Dengan demikian studi islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya studi islam telah dapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Dalam studi tersebut, salah satu persoalan yang mendesak untuk segera di pecahkan adalah masalah metodologi.Hal ini disebabkan oleh dua hal.Pertama, kelemahan di kalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komprehensif adalah tidak menguasai metodologi.[18] Kelemahan ini semakin terasa mana kala umat Islam khususnya di Indonesia tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikiran.[19]Jadi, kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun pada cara-cara penyajian terhadap materi yang dikuasai.
Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan ilmuan telah merambat di berbagai wilayah. Misalnya, studi Islam sudah masuk ke studi kawasan, filologi, dialog agama, antropologi, arkeologi, dan sebagainya.[20]Karenanya, metode atau pendekatan yang layak adalah salah satu keharusan yang mesti dikuasai oleh peneliti studi Islam.


BABIII
PENUTUP

A.    Kesimpulan
fenomenologi merupakan ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera sedangkan dalam filsafat fenomenologi hal tersebut memiliki makna yang berbeda yaitu, bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah dan tidak harus berupa kejadian-kejadian
Pendekatan fenomenologi awalnya adalah istilah filsafat yang digunakan oleh Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859-1938), orang sering menyebutnya Edmund Husserl atau Husserl saja. Husserl adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Fenomena yaitu apa yang tampak.
B.     Saran
Maka dengan adanya materi “Pendekaataan FenomenologisMarilah kita memahami mendalam tentang Pendekatan ini agar terciptanya pemahaman yang holistik (sempurna)
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penulisan.Kami mengharap kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi para pembaca. Amin





DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Metodelogi Penelitian Agama, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara wacana, 2004.

Asmoro, Achmadi, Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo,2001.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.

Baidhawy, Zakiyuddin. Studi Islam Pendekatan Filsafat dan Metodelogi,. Yogyakarta: Insan Madani, 2011.

Bakhri, Media Zainal. Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940). Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2015.

Basworo dan Sudikin, Metode Penelitian Kuantitatif Prespektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia, 2002.

Chamami, Rizka. Studi Islam Kontemporer. Semarang: Pustaka Rizky Putra,2002.

Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LkiS,  2002.

Daya, Burhanuddin. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, . Jakarta: Inis,1993.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Gie, Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 1997.

L.  Cox,James,  Ekpressing  the  Sacred:  An  Introduction  to the  Phenomenology  of Relegion, Harare: University of Zimbabue, 1992.
M. Poloma, Margaret, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Mulyadi, Kontribusi Filsafat Ilmu dalam Studi Ilmu Agama Islam: Telaah Pendekatan Fenomenologi. Ulumuna Voll. XIV No. 1, 2010.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Sudarman, Fenomenologi Husserl Sebagai Metode Filsafat Eksistensial. Al-Adyan. Vol. IX. No.2, 2014.


[1] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 8.
[2] Mulyadi, Kontribusi Filsafat Ilmu dalam Studi Ilmu Agama Islam: Telaah Pendekatan Fenomenologi (Ulumuna Voll. XIV No. 1, 2010), hlm. 159.
[3] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS,  2002), hlm.  105.
[4] Rizka Chamami, Studi Islam Kontemporer (Semarang: Pustaka Rizky Putra,2002), hlm. 15.
[5] Asmoro, Achmadi, Filsafat Umum  (Jakarta: Raja Grafindo,2001), hlm. 122.
[6] Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2005), hlm. 234.
[7] Basworo dan Sudikin, Metode Penelitian Kuantitatif Prespektif Mikro (Surabaya: Insan Cendikia, 2002), hlm. 1.
[8] Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam Pendekatan Filsafat dan Metodelogi (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), hlm.184-283.
[9] Rizka Chamami, Studi Islam Kontemporer, hlm.24-25.
[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat  (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 230-231.
[11] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 118.
[12] Sudarman, Fenomenologi Husserl Sebagai Metode Filsafat Eksistensial (Al-Adyan. Vol. IX. No.2, 2014), hlm. 108.
[13] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm.29.
[14] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.301-302.
[15] Media Zainal Bakhri, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2015), hlm.16-25.
[16] Burhanuddin daya, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Jakarta: Inis,1993), hlm.47.
[17] Taufik Abdullah, Metodelogi Penelitian Agama, Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara wacana, 2004), hlm.x-xii
[18] Lihat Harun Nasution, “ Metodologi Barat Lebih Unggul,” Ulumul Qur’an, No. 03, Vol. V (1994), hlm. 27-30.
[19] Sebagai contoh, baca Nurcholish Madjid, Tradisi Islam : Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3-11
[20] Lihat misalnya, W.A.L. Stokhof dan N.J.G. Kaptein (redaktur), Beberapa Kajian Indonesia dan Islam, (Jakarta: INIS, 1990) ; Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi (peny.), Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999) ; Rifaat Syauqi Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islam , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000).

Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "MAKALAH PENDEKATAN ILMIAH (PENDEKATAN FENOMENOLOGIS)"

Back To Top