Hidup Adalah Tanggung Jawab, Pengabdian, dan Ibadah

KONFLIK DAN RESOLUSI DALAM AL-QUR'AN

KONFLIK DAN RESOLUSI DALAM AL-QURAN


A.    Pendahuluan
Konflik merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak bahkan bagian dari kehidupan manusia. Konflik dengan berbagai lingkup serta jenisnya, seperti konflik antar individu, konflik keluarga, konflik antar kelompok, hingga konflik antara penguasa dengan rakyatnya selalu terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika sebagian para ahli berkata bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik. Namun demikian, bukan berarti bahwa berbagai konflik dan kekerasan agama akan dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya untuk mengelola konflik dan meredamnya. Bukankah secara psikologi semua manusia mendambakan kehidupun damai dan harmoni sosial di tengah multicultural. Jika kita bisa melakukan resolusi konflik, niscaya suasana kehidupan yang damai, penuh kasih sayang, toleran, saling menghargai dan tolong-menolong, tanpa membedakan agama apa yang dianutnya akan menjadi kenyataan.[1]
Al-Qur’an sebagai sebuah petunjuk bagi manusia merupakan sumber nilai tertinggi yang diyakini oleh umat Islam. Al-quran telah memberikan bimbingan dan panduan moral dalam rangka mengolah dan meredam konflik, agar tidak terjadi berbagai tindak kekerasan.[2] Ada banyak ayat al-Qur’an yang bisa dielaborasi dan dijadikan sumber untuk mengurai berbagai faktor penyebab konflik dan kekerasan atas nama agama. Tulisan sederhana ini mencoba menjelaskan Konflik dan konsep resolusi yang di tawarkan Al-quran dengan tinjauan beberapa ayat yang terkait dengan fenomena tersebut.

B.     Definisi Konflik dan Resolusi
1.      Definisi Konflik
Kata konflik (conflict) secara etimologi, berasal dari kata bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan.
Secara terminologi menurut Antonius, dkk, konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.[3] Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu.[4]
Sedangkan secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan dan membuatnya tidak bedaya.[5] Kemudian Soerjono Soekanto, menyebut konflik sebagai pertentangan atau pertikaian, yaitu suatu proses social individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, disertai dengan ancaman dan kekerasan.[6]
Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkan atau menyisihkan.[7]
2.      Definisi Resolusi Konflik
Resolusi konflik (conflict resolution) dalam Webster Dictionary adalah tindakan mengurai suatu permasalahan, pemecahan, penghapusan atau penghilangan permasalahan. Secara terminologi, Simon Fisher, mengartikan resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.[8] Sejalan dengan itu, menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembang-kan rasa keadilan.[9]
Dari definisi di atas, resolusi konflik dapat dipahami sebagai suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.[10]

C.    Sejarah Awal Konflik dalam Al-Quran
Dalam al-Qur’an ada beberapa term yang merujuk pengertian konflik secara umum, diantara kata al-khasm, al-mukhashamah (bermusuhan)[11], ikhtilaf (berselisih)[12], tanazu’ (pertentangan)[13] dan al-qital, al-harb (perang)[14] dan lain sebagainya. Semua istilah itu mengacu pada pengertian konflik, perselisihan, pertentangan dan pemusuhan, perang dan bahkan pembunuhan.
Secara historis di dalam al-Qur‟an terdapat banyak kisah konflik, bahkan sejak awal penciptaan manusia itu sendiri, seperti dalam kasus dialog yang terjadi antara Allah Swt., Malaikat, dan Iblis. Terjadinya dialog tersebut manakala dipahami secara tekstual, ialah diakibatkan dari adanya persaingan antara Malaikat, Iblis dan kompetitor baru (Manusia : Adam).[15]
Pada dialog tersebut, Malaikat berkomentar “adakah engkau akan menciptakan makhluk perusak[16] dan kemudian dilanjutkan dengan kata “sedangkan kami adalah ciptaan engkau yang selalu setia dan mensucikanmu”,[17] secara semantik kata tersebut memiliki makna, bahwa Malaikat merasa bahwa diri mereka ialah lebih pantas untuk menduduki gelar khalifah fi al-ardl dibanding dengan calon kompetitornya, sehingga terjadi dialog antara Malaikat dengan Allah Swt.
Selanjutnya ialah Iblis. disaat Allah Swt memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam, mereka menolak perintah tersebut sebab mereka merasa bahwa mereka ialah lebih mulia dibanding kompetitor barunya tersebut, dalam dialog itu Iblis berkata “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah”.[18] Penolakan Iblis atas perintah Allah berakibat pada dinilainya Iblis sebagai makhluk Allah yang sombong, sehingga dilaknat oleh Allah Swt.
Dialog di atas menunjukkan tentang adanya gesekan yang terjadi antara Malaikat, Iblis, dan Adam sebagai kompetitor baru. Adam dianggap sebagai makhluk yang belum teruji untuk ditempatkan pada posisi yang lebih unggul dibanding Malaikat dan Iblis. Malaikat adalah makhluk Allah yang selalu mensucikan Allah dan setia atas apapun yang telah diperintahkan Allah Swt. Sehingga merasa lebih unggul dibanding Adam, demikian pula Iblis yang diciptakan dari bahan dasar api, mereka merasa lebih mulia dibanding Adam yang hanya diciptakan dari tanah.
Fenomena konflik selanjutnya pada anak cucu Adam, ketika Qabil dan Habil bertengkar memperebutkan istri karena konon istri Habil lebih cantik ketimbang istri Qabil. Pada akhirnya kedengkian Qabil memuncak dan tega membunuh saudara kandungnya sendiri. Sebagaimana diisyaratkan dalam ayat yang artinya,“Maka nafsunya mendorong untuk membunuh saudaranya, maka ia membunuhnya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi” (Q.S. al-Maidah [5]: 30). Ketika itu Qabil tidak mengetahui bagaimana cara menguburkan jasad saudaranya sehingga Allah mengutus seekor burung gagak untuk mengajarinya, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Ma’idah:31.
”Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali dibumi untuk  memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: ”Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”

Kisah pembunuhan anak Adam ini kemudian menjadi semacam landasan filosofis al-Qur’an untuk menegaskan bahwa barang siapa yang melakukan pembunuhan tanpa alasan yang hak maka seolah ia melakukan pembunuhan manusia seluruhnya (Q.S. al-Ma’idah [5]: 32). Sebab biasanya ketika terjadi pembunuhan, akan memunculkan aksi balas dendam yang bisa mendorong terjadinya pembunuhan baru. Itulah mengapa al-Qur’an kemudian menawarkan hukuman qishas atau hukuman setimpal bagi pembunuh (Q.S. al-Baqarah [2]: 178) dan menegaskan bahwa dalam hukuman qishas terdapat kehidupan buat manusia (Q.S.al-Baqarah [2]: 179).[19]

D.    Pemetaan Konflik dalam Al-Quran
Al-Quran menginformasikan secara sistematis kepada manusia, bahwa konflik atau pertikaian, telah ada dan menjadi ketentuan dalam kehidupannya. Manusia digambarkan dalam Al-Quran selalu melakukan pertikaian, baik pertikaian antar personal, keluarga, dan sosial. Al-Quran menggambarkan konflik sosial dalam dua bentuk, yaitu bentuk potensial dan bentuk aktual. Konflik dalam bentuk potensial disebutkan Al-Quran dengan menggunakan kata seperti (permusuhan), sedangkan konflik aktual digambarkan dengan menggunakan kata (perselisihan/pertengkaran) dan  (pembunuhan).
1.      Konflik Potensial
M.F. Zenrif dalam dalam analisisnya terhadap beberapa ayat Al-Quran, ditemukan bahwa secara umum  potensi konflik dapat dikategorikan sebagai konflik universal. Potensi konflik seperti ini dimiliki oleh setiap manusia,[20] sekalipun tidak saling mengenal antara satu dengan lainnya. Jelasnya, potensi konflik universal tidak membutuhkan adanya interaksi atau kontak sosial sebelumnya, sebab potensi ini melekat dalam diri setiap individu.
Potensi konflik universal dapat berbentuk konflik intrapersonal dan interpersonal. Konflik intrapersonal adalah potensi konflik yang muncul dalam diri setiap orang, yakni potensi perselisihan antara dorongan-dorongan kebaikan dan keburukan. Dorongan untuk melawan atau menyatakan permusuhan terhadap kebaikan ditunjukkan dengan adanya dorongan berbuat kejahatan dan keburukan. Sebaliknya, adanya kesadaran melawan dorongan kejahatan ditunjukkan dengan kuatnya dorongan berbuat kebaikan.[21] Konflik intrapersonal ini sering dialami ketika  kita menghadapi pilihan untuk melakukan atau menolak mengerjakan sesuatu. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat saja menyalahkan dan membenci, bahkan menyakiti dan membunuh diri sendiri.
Konflik interpersonal ialah potensi yang ada dalam “diri” setiap orang untuk membenci dan memusuhi yang lain. Konflik ini dapat berbentuk individu-individu,[22]  antar individu dalam keluarga,[23] antarindividu yang terjalin dengan komitmen persahabatan,[24] antaretnis atau komunitas masyarakat yang diikat dengan komitmen, baik komitmen kebangsaan atau kenegaraan,[25] maupun komitmen keagamaan. Potensi konflik yang disadarkan atas komitmen keagamaan,[26] di samping disebabkan permasalahan politik dan ekonomi, banyak didorong oleh penilaian yang negatif, yang berakhir dengan pengejekkan pada agama lain.[27]
Dilihat dari pandangan strukturalis, ada potensi konflik antara pimpinan, raja, presiden, rektor, atau direktur pada satu sisi, dan rakyat, mahasiswa, atau buruh pada sisi yang berlawanan.[28] Potensi “konflik struktural” ini merupakan akibat dari ketidakadilan, kedhaliman, dan bentuk lain dari penindasan kaum elit terhadapmasyarakat alit (kecil).[29] Dalam pandangan struktur agama, potensi konflik dapat terjadi antara nabi, kyai, pendeta, pastur, biksu atau missionaris (da’i), dengan umatnya.[30]
Potensi konflik yang terakhir ini disebabkan ada sebagian masyarakat yang bersifat munafik dan menjadi demagog (penghasut), yakni seseorang yang mampu mempengaruhi kebanyakan masyarakat dan pimpinan dengan keindahan bahasa dan rasionalisasi analitis terhadap sebuah realitas. Sekalipun analisis para demagog tidak berdasarkan realitas yang sebenarnya, para demagog tetap mampu merasionalisasi informasinya sehingga seakan-akan apa yang diinformasikannya benar-benar berangkat dari sebuah realitas.[31] Tindakan yang berangkat dari hasil
analisis para demagog telah mengakibatkan kaum elit mengambil kebijakan yang kurang tepat, sebaliknya sebagian masyarakat memberikan penilaian terhadap pimpinan dengan salah disebabkan informasi yang tidak benar dari demagog.
2.      Konflik Aktual
Konflik aktual adalah perwujudan dari konflik potensial yang telah  diorganisir dan dimobilisasi massa, merupakan realitas dari konflik sosial. Konflik sosial yang terendah ditunjukkan dalam berbagai model konflik; Pertama, dengan hadirnya demagog (penghasut) yang memberikan rasionalisasi yang menakjubkan tentang keberhasilan kehidupannya dan ditampakkan di depan orang banyak atas nama Tuhan, walaupun sesungguhnya yang berada di dalam jiwanya adalah kebalikan dari apa yang ada pada permukaannya. Salah satu ciri dari perilaku konflik yang disebabkan perbuatan demagog ialah; (a) sesuatu yang ada dalam hatinya jauh dari kenyataan yang ditampakkannya di depan orang banyak, (b) Apabila dia berada di belakan orang banyak, dia justru membuat kerusakan di atas bumi; (c) Apabila diingatkan, dia menunjukkan kesombongan dan keangkuhan.[32]
Kedua, konflik sosial yang didahului oleh perdebatan (mujadalah),[33] yaitu perdebatan antara logika yang benar dan yang salah, kebaikan dengan keburukan, dan antara keadilandengan kebatilan. Konflik seperti ini sering terjadi antara mereka yang mengajak kepada kebenaran dan mereka yang mempertahankan tradisi yang salah.[34]
Ketiga, konflik keluarga disebabkan permasalahan kekeluargaan, seperti pengasuhan anak, pemilikan terhadap harta waris, kecemburuan terhadap pasangannya, dan segala bentuk konflik keluarga.[35] Konflik seperti ini banyak terjadi di Negara-negara maju maupun berkembang yang fenomenanya dapat  dilihat dari meningkatnya angka perceraian dan gugat cerai.
Keempat, “perang dingin” antarumat beragama, yaitu konflik antarumat beragama, kelompok mukmin pada satu sisi dan kelompok kafir pada sisi lain.[36]Konflik seperti ini ialah konflik yang terselubung dalam setiap perdebatan dan kajian keagamaan. Secara akademik, kita melihat konflik ini dalam berbagai literatur tentang kajian keagamaan, dimana masing-masing pengkaji menyatakan yang paling objektif dan akhirnya membenarkan agamanya masing-masing.
Kelima, konflik antara orang yang melakukan perserikatan dan kerjasama dengan tidak menggunakan manajemen yang baik.[37] Sistim kerjasama atau perserikatan ini dapat terjadi dalam skala personal, komunitas sosial yang diwakili oleh organisasi institusional (antarlembaga), regional (antarpropinsi), nasional (antarnegara) maupun internasional (antara Negara-negara yang berkelompok dalam suatu badan atau organisasi). Setiap hubungan kerjasama atau perserikatan yang dilakukan dengan cara tidak professional dan terbuka, merupakan bentuk dari konflik sosial yang apabila terakumulasi akan menjadi ledakan konflik yang membahayakan hubungan tersebut.
Keenam, konflik sosial diakibatkan perbedaan pandangan tentang kekayaan dan konservasi alam, perbedaan pandangan ini berakibat pada upaya untuk mempertahankan pandangan yang karena ketidaktahuannya mengakibatkan pada kesalahan, namun dengan kesombongannya kemudian berwujud dalam bentuk makar.[38] Makar ini ditunjukkan dengan cara mengeksploitasi alam untuk menunjukkan kebenaran dan kemenangannya sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem dan makro kosmik.
Ketujuh, bentuk konflik sosial diakibatkan terjadinya pencurian, korupsi, manipulasi, pengurangan timbangan atau ukuran, dan beberapa bentuk pengambilan hak orang lain dengan tidak sah.[39] Korupsi dan manipulasi yang terjadi di beberapa negara berkembang, khususnya Indonesia, telah mengakibatkan terjadinya konflik sosial, baik vertikal maupun horisontal. Terjadinya demonstrasi di berbagai daerah sebagai bentuk respon terhadap terjadinya korupsi dan manipulasi adalah salah satu indikasi yang menunjukkan terjadinya konflik bentuk ini.
Sementara itu, yang menunjukkan pada tingkatan konflik aktual yang tinggi dapat terjadi antar personal yang diakibatkan permasalahan keluarga, baik karena permasalahan perkawinan yang tidak disetujui maupun disebabkan masalah warisan,[40] antar etnis dan agama yang disebabkan fitnah,[41]  antarnegara (pemerintahan),[42] atau peperangan antaragama (perang suci).[43] Bentuk-bentuk konflik ini hingga kini dapat kita amati dengan jelas dalam berbagai kehidupan sosial, sekalipun dengan motif dan dorongan yang berbeda dengan apa yang ada dalam setiap ayat secara tekstual.
Fenomena konflik sosial ini dapat dilihat dari terjadinya pembunuhan yang tidak disengaja atau melakukan sesuatu dengan tidak bermaksud untuk membunuh, akan tetapi secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya pembunuhan,[44] atau pembunuhan terhadap individu atau perusakan terhadap alam semesta,[45] pembunuhan terhadap pimpinan (negara maupun  agama),[46] atau pembunuhan terhadap anak sendiri.[47] Konflik potensial dan aktual yang telah dijelaskan dalam Al-Quran tidak lain agar kita mengetahui potensi-potensi dan gambaran konflik yang sering terjadi dalam kehidupan antar manusia. Selain kita mengetahui sejauhmana keberadan konflik yang ada dalam hidup, Al-Quran juga memberikan resolusi disetiap konflik yang ada didalamnya. Karena bagi penulis, konflik sendiri bagaikan ‘penyakit’ yang harus ada ‘obatnya’.

E.     Resolusi konflik yang ditawarkan Al-Quran
1.      Mencegah Konflik Sebelum Terjadi
Di dalam istilah ushul terdapat istilah yang disebut dengan sad‟u al-dara‟i, istilah ini dijadikan sebagai sebuah pedoman untuk mencegah terjadinya sebuah kejadian yang dinilai negatif oleh syari‟at.  Hubungannya dengan resolusi konflik ialah bahwa, konflik yang tidak bisa terpisah dengan kehidupan manusia itu sendiri, sebab dengan keragaman budaya dan keyakinan, dapat diminimalisir dengan mencegahnya sebelum terjadi.[48]
Ayat-ayat yang membahas tentang pencegahan terhadap konflik ialah :
a.       Pendidikan Sifat Rahmah Atas Keberagaman
Pendidikan nilai kasih sayang atas seluruh makhluk Allah (rahmatan lil alamin) di dalam Agama Islam menempati posisi yang cukup urgen, mengingat dasar kasih sayang yang kokoh akan menjadikan manusia sebagai makhluk Allah yang berperilaku baik (shalihin). Sebab, dengan kasih sayang mereka akan menjadi individu yang peduli baik terhadap masnusia yang lain, atau bahkan terhadap lingkungannya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(al-Hujarat : 13)

Firman Allah di atas menyeru agar umat manusia memiliki kesadaran, bahwa keberagaman suku, bangsa, dan bahasa, perbedaan warna kulit, dan juga budaya, merupakan sebuah keniscayaan yang keberadaannya harus dimaklumi. Bahkan umat manusia juga diseru oleh-Nya agar saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab, meski berbeda, pada dasarnya mereka ialah dari keturunan yang satu yakni dari Nabi Adam dan Hawa. Sehingga dengan adanya kesadaran tersebut perbedaan bukanlah hal yang dapat menjadi embrio munculnya konflik, bahkan yang terjadi ialah kehidupan yang saling menghormati dan menyayangi.
b.      Musyawarah untuk Mencapai Kesepakatan
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”(Asy-Syura: 38)

Firman Allah tersebut menjelaskan tentang urgensi musyawarah, yakni bahwa perkara apapun yang menyangkut kebaikan, baik dalam persoalan keluarga, ataupun persoalan kemasyarakatan, harus di dahului dengan proses musyawarah.23 Dalam masalah kemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam surat Ali-„Imraan (3) ayat 159, digambarkan bahwa Rasulullah selalu bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.[49]

c.       Dialog
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Terkait ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya “Tafsir al-Qur‟an al-Adzim” menegaskan bahwa term dialog yang terdapat pada ayat tersebut, merupakan perintah dan pengajaran terhadap Rasulullah Saw. dalam menghadapi orang-orang kufur. sedangkan penyampaian ajakan beliau terhadap mereka26 ialah dengan hikmah, maksudnya ialah sebuah ajakan yang dilandasi ketegasan dan berdasar pada pesan-pesan yang telah dimandatkan Allah secara langsung seperti mengenai tauhid dan yang lainnya,27 dan juga dengan mau‟idlah hasanah (wejangan) dengan baik, sekaligus mengajak mereka untuk berdialog kalau seandainya mereka mengingkari ajakan Rasul dengan dialog yang sangat sopan dan merendahkan diri, argument ini diperkuat dengan firman Allah pada surat Al-Ankabut : (46)
Tema dialog yang telah dinyatakan di dalam al-Qur‟an merupakan salah satu tema yang menunjukkan tentang konflik antar kelompok, dalam hal ini ialah Islam dan Kafir. Antara kuffar Makkah memiliki keyakinan yang bertentangan dengan Agama yang telah dibawa Rasulullah Saw. dengan perbedaan keyakinan tersebut muncul celaan-celaan yang disematkan kepada Nabi Muhammad Saw. atas dasar itulah untuk bisa saling meyakinkan masing-masing pihak terjadilah dialog.
d. ijtihad diplomaaasi
 1. Hubungan bilteral Negara
 2. Hubungan Kedubes 
 3. Bntuan Dana melalui Act, dll
2.      Melerai Konflik yang Terjadi
a.       Keadilan Sebagai Jalan al-Ternatif atas Konflik yang Sedang Terjadi
Untuk menunjukkan makna adil, di dalam ayat-ayat al-Qur‟an terdapat beberapa istilah, di antaranya dengan kata al‟adl dengan berbagai derivasinya kurang lebih diulang 35 kali, berikutnya dengan istilah al-Qisth sebanyak 24 kali, istilah al-wazn terulang 23 kali, dan al-washt sebanyak 5 kali.29 Inti dari semua istilah yang telah digunakan al-Qur‟an ialah bermuara pada satu tujuan, yakni sikap tengah yang berkeseimbangan dan juga jujur.[50]

F.     Penutup
Konflik adalah bagian dari kehidupan manusia, dimana keberadaan-nya secara sistematis telah banyak digambarkan dalam Al-Quran, oleh karenanya konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, Islam (Al-Quran) pun tidak sekedar memberikan gambaran konflik secara sistematis tapi Al-Quran dalam konteks kitab pun memiliki resolusi atas konflik yang ada.
Resolusi konflik dalam perspektif Islam adalah sebuah jalan baru yang memberikan kontribusi terhadap ‘konflik’ dengan memperhatikan ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mustaqim,  Konflik Teologis dan Kekerasan Agama dalam Kacamata Tafsir Al-Qur’an,dalam jurnal Epistemé, Volume 9, Nomor 1, Juni 2014.
Agus Purnomo, Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis – Sosial Radikalisme Agama. Cet. I , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Fisher S, dkk. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama. Jakarta: The British Counsil, Indonesia. 2001.
Gea, A.A, dkk. Relasi Dengan Sesama. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Mindes, G. Teaching Young Children Social Studies. USA: Praeger Publishers, 2006.
Mohammad Barmawi, Resolusi Konflik Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tematik Ayat-Ayat Resolusi Konflik).
Muhamad Fu`ad Abdul Bagi, Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an.
Muin, I. Sosiologi SMA/MA untuk Kelas XI. Jakarta: Erlangga, 2006.
Scanell, M. The Big Book of Conflict Resolution Game. McGraw-Hill. 2010.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Bandung: Kencana, 2011.
Wisnu Suhardono, Konflik dan Resolusi, dalam Jurnal Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. II  No. 1 Juni 2015.




[1] Abdul Mustaqim,  Konflik Teologis dan Kekerasan Agama dalam Kacamata Tafsir Al-Qur’an,dalam jurnal Epistemé, Volume 9, Nomor 1, Juni 2014.
[2] Ibid.
[3] Gea, A.A, dkk. Relasi Dengan Sesama. (Jakarta: Elex Media Komputindo. 2002), hlm 175
[4] Scanell, M. The Big Book of Conflict Resolution Game. (McGraw-Hill, 2010), hlm. 2
[5] Muin, I. 2006. Sosiologi SMA/MA untuk Kelas XI. (Jakarta; Erlangga, 2006), hlm 49.
[6] Ibid., hlm 50
[7] Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. (Bandung: Kencana, 2002), hlm. 54.

[8] Fisher, S. dkk. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama. (Jakarta: The British Counsil Indonesia2001), hlm 7
[9] Mindes, G. Teaching Young Children Social Studies. (USA: Praeger Publishers, 2006),  hlm 24.
[10] Wisnu Suhardono, Konflik dan Resolusi, dalam Jurnal Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. II  No. 1 Juni 2015.
[11] Q.S. az-Zumar: 31
[12] Q.S. Ali Imran [3]: 103, 105 dan al- Syu’ara: 14
[13] Q.S. al-Nisa’[4]: 59
[14] Q.S. al-Anfal [8]: 57, Q.S. Muhammad [47]: 4,  dan al-Baqarah [2]: 217
[15] Mohammad Barmawi, Resolusi Konflik Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tematik Ayat-Ayat Resolusi Konflik)...
[16] Al-Baqarah (2) : 3
[17] Al-Baqarah (2) : 30
[18] Al-A‟raf (7) : 12
[19] Abdul Mustaqim,  Konflik Teologis dan Kekerasan Agama..., hlm 160.
[20] Perhatikan al-Baqarah (2:36); al-A’raf (7: 24); dan Thaha (20: 123).
[21] Perhatikan ayat al-Isra’ (17:53).
[22] Potensi konflik antarindividu ini digambarkan ayat al-Qashash(28): 19.
[23] Keluarga yang dimaksudkan, baik bentukan keluarga yang didasarkan atas pertalian keturunan, seperti yang ditunjukkan ayat al-Taghabun (64:14), maupun keluarga yang didasrkan atas pertalian adopsi, seperti yang ditunjukkan ayat al-Qashash (28:8); dan al-Taubah (9:114).
[24] Bacalah runtutan ayat yang berakhir dengan ayat al-Zukhruf (43:67).
[25] Perhatikan ayat al-Nisa’ (4: 92) dan al-Qashash (28: 15).
[26]  Perhatikan ayat al-Nisa’ (4:101), al-Anfal (8: 60), al-Taubah (9: 83), al-Mumtahanah (60:1).
[27] Periksa rentetan ayat dalam al-An’am (6:108).
[28] Perhatikan surat Thaha (20: 80).
[29] Yunus (19: 90).
[30] Al-An’am (6: 112), al-Taubah (9: 120), dan al-Furqan (25: 31).
[31] Al-Munafiqun (63: 4).
[32] Al-Baqarah (2: 204-206).
[33] Mujadalah (debat) dan beberapa kata jadiannya disebutkan al-Quran sebanyak 29 kali,
dalam surat al-Baqarah (2: 197), al_nisa’(4:107, 109), al-An’am (6: 25), al-A’raf (7: 71), al-Anfal (8:6), Hud (11:32, 74), al-Ra’d (13: 13), al-Nahl (16: 111, 125), al-Kahfi (18: 54, 56), al-Hajj (22: 3,8, dan 68), al-Ankabut (29: 46), Luqman (31:20), al-Mukmin (40: 4,5,35,56, dan 69), al-Syu’ara (42: 35), al- Zukhruf (43: 58), dan al-Mujadilah (58: 1).
[34] Al-Zukhruf (43: 58)
[35] Ali-Imran (3: 44).
[36] Al- Naml (27: 45), dan al-Hajj (22: 19).
[37] Shad (38: 21-24).
[38] Al-Nahl (16: 3-26)
[39] Al-Nisa’ (4: 105),
[40] Al-Maidah (3: 30).
[41] Al-Baqarah (2: 191, 217)
[42] Al-Baqarah (2: 251)
[43] Muhammad (47: 4).
[44] Al-Nisa’ (4: 92).
[45] Al-Maidah (5: 32).
[46] Al-Quran menggambarkan kebiasaan masyarakat yang membunuh para Nabi, seperti digambarkan Al-Imran (3: 181 dan 183), al-Nisa’ (4: 155); lihat juga Abu Abdullah. Muhammad ibn Ahmad al-Anshar; al-Qurthubi. Al-Jami li-Ahkam al-Qur’an. Vol. 14.  (Kairo Dar al-Katib alArabi li al-Thibaah wa al-Maaya, 1987).
[47] Al-An’am (7: 137 dan 140)
[48] Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis – Sosial Radikalisme Agama. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009),  hlm. 1.
[49] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 244-245.
[50] Muhamad Fu`ad Abdul Bagi, Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an.

Share :

Facebook Twitter Google+
0 Komentar untuk "KONFLIK DAN RESOLUSI DALAM AL-QUR'AN"

Back To Top